Rabu, 03 Agustus 2011

Rumah Duka

Rumah itu masih saja begitu, dari dulu tak juga berubah. Dalam kekokohannya yang aneh, arsitektur yang tampak aneh, dan penghuninya yang aneh menurut orang-orang di kampung ini. Sementara menurutku, rumah itu adalah pengabadian dari cinta ibu yang luka. Luka teramat luka

hingga lupa luka itu ada.
Bertahun yang lampau luka itu dimulai. Saat rumah itu masih tampak sederhana dan bersahaja. Cat berwarna krem menandakan sang empunya yang tidak neko-neko. Berarsitektur model rumah orang-orang Indonesia kebanyakan, tanpa seni yang berlebihan. Tiga kamar tidur yang terdiri dari satu kamar utama dan dua kamar anak yang ukurannya lumayan besar dan didominasi ranjang tingkat, ruang tamu merangkap ruang keluarga, dapur, ruang makan, dan kamar mandi. Semua tampak biasa saja. Sementara halaman luasnya ditumbuhi bunga-bunga cantik dan beberapa tanaman hias. Di pojok halaman dekat kolam ikan yang menyejukkan, berdiri anak pohon alpukat yang sedang menggeliat tumbuh tanpa disadari penghuninya.
Tujuh anak laki-laki menginjak remaja meramaikan rumah bersahaja itu. Bisa dibayangkan, betapa pikuknya bila semua berkumpul. Kakak adik dengan beragam hobi, cita-cita, dan selera yang nyaris berbeda satu sama lain. Belum lagi bila masing-masing membawa teman-temannya ke rumah, wah, tak terkira padatnya.
Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan ibunya. Begitulah seharusnya yang dirasakan ibu ketujuh anak laki-laki kakak beradik itu. Dan memang begitulah, ia melihat geliat tidak nyaman pada anak-anaknya. Ia merasakan mereka telah tumbuh menuju proses pendewasaan. Mereka perlu ruang pribadi untuk bisa memaksimalkan potensinya masing-masing. Ruang pribadi dalam arti yang sesungguhnya. Maka tercetuslah ide itu: merombak rumah.
“Masing-masing anak harus memiliki kamar pribadi, Pak.”
“Apa tidak berlebihan, Bu? Berarti kita harus membuat lima kamar tambahan. Biayanya kan tidak sedikit.”
“Uangnya Ibu rasa cukup, Pa. Kita kan masih punya simpanan. Kita tinggal menambahkan lantai satu menjadi kamar-kamar untuk mereka. Kasihan, mereka perlu ruang yang nyaman untuk tumbuh dan mengembangkan potensi dirinya. Potensi dan keinginan seorang anak bisa dilihat dari kamarnya, loh, Pa. Bagaimana ia menata barang-barang pribadinya, apa saja yang ia tempel di dinding, apa saja yang tersimpan di lemarinya. Itu bisa kelihatan.” Bujuk ibu.
Tak memerlukan waktu lama, dimulailah perombakan itu, di bawah pengawasan langsung sang ibu. Ibu ingin memberikan yang terbaik untuk ketujuh anaknya. Semuanya harus sempurna seperti rencananya. Ia tak ingin orang-orang kembali mencibir seperti setelah ia melahirkan anak bungsunya dulu. Ingin dibuktikannya bahwa ia mampu membesarkan ketujuh anaknya dengan penuh kesuksesan. Banyak anak tak identik dengan kebodohan dan kesengsaraan, begitu pikirnya. Meski memiliki tujuh anak bukanlah niatnya. Ia hanya ingin menambah satu anak perempuan setelah putra sulungnya lahir. Tapi Tuhan berkata lain, selalu anak laki-laki yang dititipkan-Nya. Si Sulung lahir sendiri. Adiknya menyusul setahun kemudian, kembar. Adik si kembar, setahun kemudian, juga kembar. Setahun berikutnya berturut-turut sendiri-sendiri. Ibu tak pernah jera. Hingga anak ke-7 masih juga laki-laki, akhirnya menyerahlah ia. Itupun karena kondisi kesehatan yang tak memungkinkannya melahirkan kembali.
Sementara ibu sibuk dengan rencananya, bapak dengan tambahan biayanya, tujuh anak laki-laki itu berproses menuju matang. Seperti pohon alpukat di pekarangan rumah yang terus tumbuh. Hujan badai, panas terik mengiringi tumbuhnya. Begitu pula dengan tujuh anak laki-laki tersebut. Alam menjadikannya tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Mereka berkawan dengan dunia tanpa proses penyaringan dari kedua orangtuanya yang sibuk. Maka duniapun mereka genggam sepenuhnya. Tak berbilang jarum, botol, pil yang diam-diam menyusup di tas sekolah mereka. Begitulah gaya hidup sesungguhnya menurut mereka. Menurut gejolak darah mudanya yang bergelora. Ikut terlibat atau terlindas dan berkubang di kerangkeng norma dan aturan.
Rumah baru saja setengah jadi ketika tujuh anak laki-laki itu pergi bersama-sama di suatu malam minggu mengendarai mobil anak tetangga. Baru berdiri lima kamar tanpa atap di lantai satu. Belum ada cat warna-warni atau tempelan poster di dinding. Dinding masih berlapis semen polos. Tapi secara keseluruhan kemegahan rumah itu telah tampak. Kamar-kamar ukuran besar dengan kamar mandi di dalamnya. Satu dapur tambahan supaya anak-anaknya tidak perlu capek-capek turun bila tengah malam ingin minum atau sekedar membuat mie rebus karena lapar, begitu pikir ibunya saat merancang rumah itu.
Maka ibu semakin sibuk mengurus ini itu untuk meneruskan pembangunan rumah, sementara bapak semakin sibuk mencari penghasilan tambahan supaya rumah impian itu bisa segera terwujud. Maklumlah, zaman serba mahal. Apa-apa ikut naik. Apalagi bahan bangunan, harganya semakin melambung. Tabungan mereka tidak lagi mencukupi. Tapi tak mungkin menghentikan pembangunan yang sudah berjalan. Jika dihentikan semuanya akan sia-sia. Mereka lupa di malam minggu itu ketujuh putranya tak di rumah.
Malam minggu seharusnya menjadi malam yang menyenangkan bagi anak-anak muda. Setidaknya seperti itulah menurut pemikiran tujuh anak laki-laki kakak beradik yang sedang mekar itu. Menyenangkan artinya berpesta, menari, bernyanyi, mengangguk-angguk, menggeleng-geleng, tralala trilili. Tak lupa ditemani botol-botol jin mabuk, pil-pil ajaib, dan peralatan main dokter-dokteran. Tapi mereka tak lupa pulang. Pukul tiga dini hari, dengan mobil anak tetangga teman mereka, meluncurlah mereka menuju rumah setengah jadi. Rupanya pil-pil ajaib dan botol-botol jin mabuk masih menyisakan pengaruhnya di otak mereka. Mobil yang mereka kendarai ikut mabuk. Di persimpangan ke sekian, dalam kecepatan tinggi, sebuah truk pengangkut semen ditabraknya tanpa ampun. Tak ada yang tersisa, hanya kabar maut yang membuat ibu mereka pingsan berkali-kali dan bapak hanya bisa duduk lemas berurai air mata di ujung telepon yang terlepas.
Di acara perkabungan, berpasang mata para pelayat diam-diam melirik bagian rumah yang belum selesai itu. Bisik-bisik terdengar lebih nyaring daripada tahlil yang dikumandangkan.
“Psst...psst...ini karena kurang perhatian orang tua...psst...psst...kebanyakan anak.”
“Iya...psst...psst...padahal sudah saya kasih tahu kalau anaknya nakal-nakal. Tapi ndak percaya juga...psst...psst.”
“Psst...psst...tapi kasihan juga ya.”
Bisik-bisik selalu menjadi bisik-bisik. Hingga berbilang hari, minggu, bisik-bisik itu masih juga terdengar. Tapi ibu tak peduli. Tepatnya mencoba tak peduli. Meski begitu, bisik-bisik lebih tajam daripada pisau, sadis melebihi pembunuh. Ibu semakin goyang. Jiwanya tak sanggup lagi mengenang perkabungan dan kesedihan.
Seperti itulah kisahnya. Kisah rumah duka yang tak pernah selesai dibangun. Dibiarkannya rumah itu setengah jadi. Entah karena mengabadikan ketujuh anak malang itu atau karena tak ada kekuatan untuk melanjutkannya. Mungkin juga karena merasa percuma sebab penghuni kamar-kamar itu tak akan pernah ada untuk sekedar berbaring melepas lelah sepulang sekolah. Tapi luka itu jelas mengabadi. Orang-orang kampung kerap melihat ibu bercakap-cakap sendiri di bawah pohon alpukat yang sudah berbuah dan semakin tinggi. Sesekali dibersihkannya halaman rumah itu dari ilalang yang meninggi sambil berurai air mata, tertawa, atau berbisik-bisik. Bapak biasanya memapah ibu ke dalam rumah tanpa kata. Dan memang sejak peristiwa itu tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya. Terlalu dalam luka yang ditorehkan dengan sekaligus. Meski begitu, seperti ada kesepakatan diantara keduanya untuk tidak meninggalkan rumah itu. Biarlah ia berdiri apa adanya. Tidak ditambah atau dikurangi. Meski luka tak juga sembuh, setidaknya mereka tidak melupakan sesuatu yang berharga di hatinya. Anak-anak permata jiwanya. Sementara orang-orang kampung masih juga terdengar berbisik-bisik setiap kali lewat di depan rumah itu. Sampai kini.***

2 komentar:

  1. merinding bacanya Aen...ini kisah nyata?...semoga Allah elalu melindungi putra-putri kita ya...(rina s)

    BalasHapus
  2. aamiin. kisah ini setengah nyata, teh. kisah tetangga waktu di jogja.

    BalasHapus